KAISAR HIROHITO
KAISAR HIROHITO 👑
TENNO HEIKA HIROHITO
Kaisar Jepang Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia Tahun 1942 - 1945.
Pada masa pendudukan Jepang, orang Indonesia diwajibkan membungkuk sedalam-dalamnya kepada Tenno Heika Hirohito. Seikerei, istilah yang tak mudah bagi kebanyakan orang Indonesia untuk melakukannya pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942 sampai dengan tahun 1945 dimana orang-orang harus membungkukkan badan sedalam-dalamnya ke arah Tokyo, untuk menghormati Tenno Heika, yang dianggap sebagai keturunan Dewi Amaterasu atau Dewi Matahari.
Tindakan ini tentu sangat berat dilaksanakan bagi kelompok Islam pada masa itu, yang menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk menyekutukan Tuhan. Bagi mereka yang menolak melakukan Seikerei, maka harus siap menerima hukuman dari para prajurit Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.
Kala itu, ritual Seikerei harus dilakukan sepenuh hati dan sedalam mungkin saat menundukkan badan. Bila seseorang ketahuan membungkuk kurang dalam, menurut pengakuan Francisca Fanggidaej dalam Memoar Perempuan Revolusioner (2006:47), hukuman yang diberikan bukan hanya tamparan dan pukulan tetapi juga tendangan.
Tenno Heika adalah sebutan untuk Kaisar Jepang. Tenno Heika berarti Yang Mulia Kaisar. Di masa perang, serdadu-serdadu Jepang yang merasa menang atau yang ingin membakar semangat biasa berteriak: “Tenno Heika Banzai” atau “Hiduplah Kaisar!” Posisi Tenno saat Perang Pasifik terjadi, dipegang oleh Hirohito, ia bertakhta sejak 25 Desember 1926 hingga 7 Januari 1989.
Hirohito bukanlah sosok kaisar yang berbadan kekar seperti yang kita bayangkan. Penampilannya terihat santun dan intelek. Selain memiliki banyak penghargaan di bidang kemiliteran, dia juga gemar melakukan penelitian dalam bidang studi biologi laut.
Bagaimanapun juga Hirohito adalah seorang kaisar yang selalu mendapatkan tempat khusus di hati Rakyat Jepang. Bahkan hari kelahirannya selalu diperingati oleh Rakyatnya.
Setelah Jepang menduduki Indonesia, tidak ada lagi perayaan hari kelahiran Ratu Wilhelmina dari Belanda yang diperingati setiap tanggal 31 Agustus. Perayaan semacam itu kemudian diganti dengan peringatan ulang tahun sang Kaisar Jepang, Hirohito yang dirayakan setiap tanggal 29 April.
Hindia Belanda menyerah pada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Jawa Barat. Maka, sebulan lebih setelah menyerahnya Belanda, ulang tahun sang kaisar pun wajib pula dirayakan oleh Bangsa Indonesia, yang diklaim sebagai Saudara Muda.
Di Bandung orang ramai menjual bendera Nippon untuk merayakan hari ulang tahun Tenno Heika atau Kaisar Hirohito,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah kecil Petite Histoire Indonesia - Volume 1 (2004:159).
Menurut Barlan Setiadijaya dalam 10 November: Gelora Kepahlawanan Indonesia (1992:2), penanggalan Jepang juga mulai dipakai saat itu seperti tahun 1942 Masehi diganti menjadi 2602 Showa.
Tak lupa, Gerakan Tiga A, yang dikenal dengan slogan Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia pun dibentuk pada hari ulang tahun Tenno Heika.
Menurut Rosihan, pada tahun 1942 perayaan itu sangat meriah, karena Bangsa Indonesia masih menganggap Jepang sebagai pembebas dari Penjajahan Belanda.
Meski hari ulang tahun Tenno Heika Hirohito sering dirayakan setiap tanggal 29 April di Indonesia, namun tak pernah sekalipun Tenno Heika Hirohito menampakkan diri di hadapan orang-orang yang merayakan ulang tahunnya di Indonesia. Hanya segelintir orang Indonesia saja yang pernah bertemu dengan Tenno Heika di zaman pendudukan Jepang.
“Pada 10 November 1943, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo diundang oleh Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo dalam kunjungan selama 17 hari di Jepang,” tulis Rhien Soemohadiwidjojo dalam Bung Karno Sang Singa Podium (2013:12).
Ketika bertemu Kaisar Hirohito, mereka bertiga dianugerahi Bintang Kekaisaran (Ratna Suci). Kala itu, Jepang sedang berusaha mengambil hati Bangsa Indonesia agar mau membantu Jepang melawan sekutu.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, tidak ada lagi warga negara kelas satu yang terdiri dari orang-orang kulit putih Eropa Belanda karena banyak orang Belanda dan keturunannya termasuk Indo Belanda yang sudah dimasukan ke kamp interniran saat itu.
Bahasa Belanda juga mulai dilarang diajarkan dan digunakan baik di sekolah dan kantor pemerintah. Banyak hal yang berbau barat, yang biasa dinikmati anak muda Indonesia yang pernah duduk di sekolah menengah Belanda, jadi sulit untuk dinikmati dan dicari. Buku-buku berbahasa Belanda juga dilarang beredar. Donald Izacus ( D.I ) Panjaitan, yang belakangan dikenal sebagai Pahlawan Revolusi, pernah diperiksa militer Jepang karena membaca buku berbahasa Eropa.
Tentara Jepang tergolong gila hormat. Jika bertemu tentara Jepang, maka wajib hukumnya memberi hormat pada mereka. Jika tidak memberi hormat maka tidak segan Tentara Jepang akan memukul dan menendang orang-orang yang tidak bersedia memberi hormat.
Tentara Jepang sering memaksakan adat militeristik Dai Nippon untuk diterapkan di Indonesia. Apa yang tidak patut di Indonesia akan nampak patut di masa pendudukan Jepang. Tidak hanya ringan tangan, tentara Jepang juga kerap memaksakan budayanya.
Di zaman Jepang, kepala pria Indonesia wajib seperti orang Jepang. Penggundulan rambut menjadi hal biasa. Padahal bagi orang Indonesia, kepala merupakan wujud kehormatan seseorang yang biasanya ditutup dengan peci atau blangkon atau tutup kepala lainnya.
Terbatasnya jenis pekerjaan di masa pendudukan Jepang membuat banyak pemuda yang pernah mengenyam pendidikan sekolah memilih untuk bergabung dengan militer Jepang. Seperti Heiho, Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa dan Gyugun di Sumatera. Dengan menjadi militer muda, setidaknya mereka punya penghasilan dan tidak menjadi pengangguran.
Bagi mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah, mereka akan dipaksa menjadi Romusha atau pekerja paksa. Kenyataanya generasi muda yang berusia di atas 15 tahun pada zaman pendudukan Jepang lebih banyak yang menjadi romusha dari pada yang menjadi anggota PETA dan Gyugun. Nasib mereka yang dipaksa menjadi Romusha sangat memprihatinkan bahkan banyak yang meninggal ketika melakukan kerja paksa.
Nasib paling tragis juga banyak dialami oleh para Perempuan Indonesia yang mengalami eksploitasi seksual dari para Tentara Kekaisaran Jepang ketika masa pendudukan Jepang di Indonesia. Banyak anak gadis yang dipaksa menjadi Jugun Ianfu atau pemuas hasrat sexual para Tentara Jepang.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer yang diterbitkan pada tahun 2001 mencatat soal adanya seruan untuk mendaftarkan anak-anak gadis di masa pendudukan Jepang agar disekolahkan. Belakangan, Pram menemukan banyak cerita pilu soal gadis-gadis malang itu.
Di Jawa, banyak gadis berusia belasan tahun yang dikapalkan untuk berlayar ke Jepang. Namun sebelum sampai Jepang, kapal-kapal itu berbelok dan singgah di beberapa pulau, baik di sekitar Kalimantan maupun Morotai. Di pulau-pulau tersebut mereka mengalami eksploitasi seksual dan mengalami pmerkosaaan berulang-ulang, bahkan nyaris belasan kali sehari oleh para Tentara Jepang.
Kaisar Hirohito, merupakan Kaisar ke-124 Kekaisaran Jepang, dia adalah tokoh yang menjadi saksi transformasi dramatis dalam sejarah kehidupan Jepang, terutama setelah Jepang menyerah pada Perang Dunia II, akibat adanya bom atom yang dilakukan oleh Tentara Amerika dan Sekutu yang meluluh lantakan Kota Hiroshima dan Nagasaki.
Hirohito lahir di Tokyo pada tanggal 29 April 1901, dan merupakan putra pertama Kaisar Yoshihito. Nama kecilnya adalah Michinomiya. Ia resmi menjadi putra mahkota pada tahun 1916, dua tahun setelah Perang Dunia I dimulai.
Hirohito merupakan putra mahkota Jepang pertama yang melakukan perjalanan keliling Eropa, yang dilakukannya selama enam bulan, pada tahun 1921.
Pada tahun 1924 Hirohito menikah dengan Putri Nagako. Pada tanggal 26 Desember 1926, setelah ayahnya wafat, Hirohito resmi diangkat menjadi kaisar. Penobatannya dilakukan di ibukota lama Jepang, Kyoto, pada tanggal 10 November 1928.
Masa kekaisarannya disebut sebagai Era Showa dimana Jepang banyak menunjukkan kemajuan terutama dalam bidang industri modern. Di tangannya, Jepang berubah menjadi negara modern sekaligus ambisius untuk menandingi negara-negara Barat yang industrialis. Jepang pun banyak melakukan ekspansi militer besar-besaran kepada negara-negara tetangganya termasuk di Indonesia.
Pada masa Hirohito bertakhta, ia menyaksikan pertentangan di dalam negeri dan peperangan yang diawali dengan kericuhan di dalam negeri akibat pertentangan antara kelompok moderat dengan golongan kanan ultranasionalis yang disokong militer khususnya Angkatan Darat sebagai kekuatan terbesar pada saat itu. Akibatnya sejumlah pejabat tinggi, pengusaha dan tokoh-tokoh penting negara terbunuh dan puncaknya adalah insiden militer pada tanggal 26 Februari 1936, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Saburo Aizawa serta 1500 prajurit.
Peristiwa ini juga melibatkan pangeran Yashuhito Chichibu sehingga Kaisar Hirohito sendiri turun tangan dan memerintahkan pasukan Angkatan Bersenjata kekaisaran untuk menyelesaikan hal ini dan memastikan loyalitas dari seluruh keluarga kekaisaran.
Diam-diam insiden ini “direstui” oleh kalangan pimpinan Angkatan Darat terutama dari kalangan ultranasionalis. Oleh karena itu pada tahun 1930, kelompok ultranasionalis dan militer menguasai pimpinan pemerintahan.
Pada masa pemerintahannya Jepang tercatat terlibat dalam berbagai peperangan di antaranya yaitu Insiden Manchuria pada tahun 1931, Insiden Nanking pada tahun 1937, dan Perang Dunia II dengan melancarkan serangan atas Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour pada tanggal 9 Desember 1941.
Setelah Perang Asia (Dai Toa Senso) selesai, banyak desakan agar Kaisar Hirohito diadili sebagai penjahat perang. Ada banyak keterangan kontroversial mengenai keterlibatannya dalam perang baik sebelum maupun pada saat Perang Dunia II. Di antaranya adalah David Bergammi dalam bukunya Japan Imperial Conspiracy yang mengatakan bahwa kaisar terlibat dalam perencanaan perang.
Namun banyak pula yang tidak setuju dengan alasan bahwa dia hanyalah sebagai simbol dan pemimpin agama sebagaimana kaisar-kaisar periode sebelumnya seperti pada Era Shogun sekalipun pada saat itu yang berkedudukan sebagai komando tertinggi.
Menteri Peperangan Amerika Serikat Henry Stimson mengatakan “Dengan tidak menurunkan Kaisar Jepang dari takhtanya akan memudahkan proses penyerahan dan menghindarkan peperangan yang dapat merugikan khususnya pasukan pendudukan. Seperti yang terjadi pada Kaisar Jerman pasca Perang Dunia I dimana rakyat menganggap Kaisar Jerman sebagai musuh rakyat dan mengakibatkan kekosongan kekuasan dan tata pemerintahaan di wilayah itu sehingga memunculkan pemberontakan yang dipimpin oleh Adolf Hitler”.
Banyak desakan dari berbagai pemimpin dunia agar Kaisar Hirohito diadili, termasuk diantaranya dari Presiden Amerika Serikat Harry S Truman meskipun pada akhirnya Presiden Trumman setuju untuk tetap mempertahankan kedudukan kaisar oleh karena alasan agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan.
Panglima pendudukan, Jendral Douglas McArthur juga tetap menempatkan Hirohito pada tahtanya meski hanya sekedar simbolik.
Kedudukan Kaisar Jepang pada takhtanya akhirnya diatur berdasarkan konstitusi yang baru yang ditetapkan pada tanggal 3 Mei 1947 yang dinamakan dengan Konstitusi Jepang 1947 atau konstitusi pasca perang yang menetapkan Kaisar Jepang hanya sebagai lambang atau simbol negara dan kepala negara sebagaimana kerajaan atau monarki konstitusional.
Konstitusi ini menggantikan Konstitusi Jepang 1889 pada era Meiji dimana kaisar sebagai pemegang komando dan kekuasaan tertinggi.
Kaisar Hirohito meninggal pada tanggal 7 Januari 1989 akibat penyakit kanker usus dua belas jari (duodenum) yang dideritanya.
Pada tanggal 24 Februari 1989. Jenazahnya dimakamkan di Mausoleum Kekaisaran Musashino, di samping makam Kaisar Taisho. Kedudukannya sebagai kaisar kemudian digantikan oleh Putra Mahkota Akihito.
Komentar
Posting Komentar