DEWI SOEKARNO

DEWI SOEKARNO 🌷

ISTRI KE 5 PRESIDEN RI.I SOEKARNO

Sakura di Tengah Prahara!

Setelah menerima Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966), Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto bertemu dengan Ratna Sari Dewi di lapangan golf di Rawamangun, Jakarta Timur. Pertemuan itu diatur dengan hati-hati mengingat Dewi adalah istri Presiden Soekarno.

Brigjen TNI Yoga Soegomo, asisten I (intelijen) Kostrad, menyebut gagasan pertemuan itu berasal dari Martono, kelak menjadi menteri transmigrasi. Tujuan pertemuan itu untuk mengorek informasi kegiatan dan kebijakan Soekarno pada saat-saat menjelang peristiwa 30 September 1965.

“Tidak mudah mengatur pertemuan itu karena Dewi adalah istri seorang presiden. Oleh karena itu, diusulkan agar pertemuan dilakukan secara tidak resmi. Rencananya, Soeharto akan bertemu dengan Dewi di lapangan golf,” kata Yoga dalam edisi revisi biografinya, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar karya B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin.

Probosoetedjo, adik Soeharto, memberikan keterangan berbeda. Menurutnya, inisiatif pertemuan berasal dari pengusaha Bob Hasan, sahabat Soeharto, yang prihatin melihat hubungan Soeharto dan Soekarno yang kurang harmonis. Anak angkat Jenderal TNI Gatot Soebroto ini mengundang Dewi bermain golf di Rawamangun. Pada saat yang sama, dia juga mengundang Soeharto bermain golf. Barangkali dengan melobi Dewi, hubungan Soeharto dan Soekarno bisa kembali membaik.

“Maka, bertemulah Mas Harto dan Ratna Sari Dewi,” kata Probosoetedjo dalam memoarnya, Saya dan Mas Harto.

Sejarawan Jepang Aiko Kurasawa mengungkap bahwa Dewi bersedia bertemu Soeharto karena tidak sadar atas seriusnya dampak dari Supersemar, malah dia optimis Supersemar akan dapat mengendalikan keadaan. Dewi baru menyadari bahwa perkiraannya meleset ketika main golf dengan Soeharto pada 20 Maret 1966.

Soeharto kemudian memberi tiga buah pilihan kepada Dewi agar dipilih oleh Soekarno :

Pertama, segera pergi keluar negeri untuk istirahat tanpa ada lagi urusan politik dengan Indonesia.

Kedua, tetap di Indonesia tetapi sebagai presiden yang sudah tidak lagi mempunyai wewenang atau kekuasaan alias sebutan saja dan hanya sekedar simbolik.

Ketiga, Soekarno mengundurkan diri secara total sebagai Presiden RI.

Soeharto merekomendasikan opsi pertama dan menyarankan untuk pergi ke Jepang atau bahkan Makkah sebagai tempat peristirahatan Soekarno.

“Belakangan Dewi memberi kesaksian kepada saya bahwa begitu mendengar tiga opsi saran Soeharto itu, dia baru menyadari bahwa dia dan suaminya telah kalah dalam pertandingan ini,” kata Aiko.

Ternyata pada saat laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang dikenal dengan Pelengkap Nawaksara pada tanggal 10 Januari 1967, pembesar Tentara Nasional Indonesia (TNI) di lingkaran Soeharto berupaya mengasingkan Bung Karno ke Jepang secara terhormat.

Menurut arsip Departemen Luar Negeri Jepang yang baru dibuka atas tuntutan penulis, oknum TNI (namanya dalam daftar hitam dokumen) secara diam-diam menghubungi staf Kedutaan Jepang di Jakarta. Mereka menyampaikan keinginannya untuk memberangkatkan Bung Karno ke Jepang dan tinggal di sana dalam jangka waktu yang cukup lama, paling tidak sampai selesai pemilihan umum yang rencananya akan digelar pada tahun 1968.

Laporan pertama mengenai hal tersebut terdapat dalam telegram pejabat sementara duta besar ke menteri luar negeri pada tanggal 30 Desember 1966. Posisi duta besar pada saat itu sedang kosong sesudah Saito Shizua dipulangkan pada awal bulan Desember 1966. Sesudah itu isu ini sering menjadi topik pembicaraan antara kelompok Soeharto dan Kedutaan Jepang. 

Menurut arsip tersebut, pihak Soeharto yakin bahwa Bung Karno akan dicopot dari kedudukannya sebagai presiden dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), sehingga lebih baik memberangkatkan Bung Karno ke luar negeri selama dia masih berstatus sebagai presiden dan memecatnya selama dia berada di luar negeri. Ini suatu kebijakan dari pihak Soeharto untuk meringankan kepahitan yang akan diderita Bung Karno nanti.

Saat itu Ratna Sari Dewi, istri kelima Bung Karno, kebetulan sudah berada di Jepang sejak bulan November 1966 dalam keadaan hamil dan diperkirakan melahirkan pada bulan Maret 1967. Mula-mula Dewi datang ke Jepang hanya untuk melakukan pemeriksaan, dan itu pun melawan keinginannya sendiri. Sebenarnya Dewi berencana pulang ke Indonesia sesudah pemeriksaan, tetapi dicegah oleh dokter atas permintaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Majalah mingguan Jepang, Josei Jishin, pada tanggal 23 Januari 1967 melansir isi surat antara Bung Karno dan Dewi selama Desember 1966 yang diantarkan melalui jasa keluarga salah satu ajudan Bung Karno. Menurut surat itu, Bung Karno shock atas keputusan Dewi melahirkan di Tokyo. Menurut pengakuan Dewi kepada penulis, dia juga shock ketika disarankan demikian oleh dokter. Ternyata keputusan melahirkan di Jepang membawa dampak buruk dan mengakibatkan perpisahan Bung Karno dari Dewi selama-lamanya. Karena Bung Karno amat merindukan Dewi, pihak Soeharto berpikir bahwa mungkin Bung Karno setuju ke luar negeri kalau tujuannya adalah Jepang.

Di Jepang mulai beredar rumor kemungkinan besar Bung Karno akan exile ke Jepang. Di antaranya muncul berita dalam Asashi Shinbun 6 Februari 1967 bahwa, atas permintaan Dewi, Partai Komunis Jepang akan membantu Bung Karno keluar ke Jepang, tetapi berita tersebut dengan segera dibantah oleh partai tersebut.

Kenyataannya, Bung Karno tak setuju ke luar negeri dan Dewi pun secara resmi membantah rencana kedatangan Bung Karno. Dia mengundang para wartawan pada malam tanggal 7 Februari ke kediamannya di Setagaya, Tokyo, dan menyampaikan pernyataan melalui staf KBRI. Isinya membantah exile Bung Karno ke Jepang.

Rupanya upaya mendorong Bung Karno berangkat ke Jepang tetap dilanjutkan di Indonesia dan kendati belum ada permintaan resmi dari pemerintah Indonesia, pemerintah Jepang sudah mengadakan berbagai persiapan. Umpamanya, atas informasi dari Departemen Luar Negeri bahwa ada kemungkinan besar Soekarno akan berangkat ke Jepang dalam waktu dekat, kepala Komisi Nasional Keselamatan Umum pada 9 Februari memerintahkan Kapolda Metropolitan Tokyo agar bersiap-siap (Yomiuri Shinbun, 10 Februari 1967).

Departemen Luar Negeri menyampaikan sikap pemerintah Jepang terhadap isu ini kepada Kedutaan Jepang di Jakarta. Isinya kurang lebih sebagai berikut:

Asalkan kunjungan ke Jepang diinginkan pemerintah Indonesia dan disetujui Bung Karno, kami akan menerimanya.

Bung Karno juga harus bersumpah untuk tidak akan mengadakan kegiatan politik dalam bentuk apapun.

Kalau beliau datang bukan sebagai presiden, harus ada persetujuan tertulis dari pemerintah Indonesia dan Bung Karno juga harus membawa paspor dan visa yang legal.

Meskipun Bung Karno tidak mendapat persetujuan dari pemerintah Indonesia, mungkin pemerintah Jepang sulit menolak kedatangannya kalau sudah diminta. Maka, harap diupayakan agar menggagalkan rencana itu sedapat mungkin.

Diberitakan pula bahwa dua pejabat dari pemerintah Indonesia sudah berangkat ke Jepang dengan pesawat Garuda pada tanggal 11 Februari dan kunjungan mereka ke Jepang dikira berkaitan dengan kedatangan Bung Karno nanti ke Jepang (Asahi Shinbun 11 Februari 1967). Pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri Adam Malik menyatakan kepada wartawan Jepang di Jakarta bahwa memang ada upaya memberangkatkan Bung Karno ke Jepang, tetapi ini bukan kebijakan resmi pemerintah!

Pada tanggal 14 Februari, Yomiuri Shinbun memberitakan bahwa Bung Karno sudah memutuskan mengundurkan diri sebagai presiden dan siap ke luar negeri. Koran itu juga memberitakan bahwa pemerintah Jepang telah mempercepat persiapan penyambutan Bung Karno. Tapi persis pada hari itu Bung Karno muncul di hadapan wartawan sesudah upacara menerima persetujuan Duta Besar Jepang yang baru Akira Nishiyama, dan dalam pertemuan itu dia membantah rencana ke luar negeri.

Koresponden Yomiuri Shinbun di Jakarta Yoshimasa Abe menyesalkan kekeliruannya dan dia hampir menyerahkan surat pengunduran diri ke atasannya. Dia percaya berita itu karena mendapatkannya dari Sigetada Nishijima, teman dekat Adam Malik sejak masa pendudukan Jepang dan sering tukar-menukar informasi dengannya.

Apakah Bung Karno jadi ke Jepang atau tidak masih simpang-siur selama bulan Februari dan Maret. Bung Karno kehilangan kedudukannya sebagai presiden dan Soeharto akhirnya terpilih sebagai pejabat presiden sementara dalam sidang MPRS tanggal 7 Maret 1967.

Ironisnya, justru pada hari itu Dewi melahirkan putrinya, Kartika, di Rumah Sakit Universitas Keio, Tokyo. Karena Bung Karno tetap menolak meninggalkan Indonesia, dia akhirnya dijadikan tahanan rumah tanpa mendapatkan pengobatan yang memadai. Bung Karno pun wafat pada Juni 1970 dalam keadaan memprihatinkan, tanpa ada kesempatan bertemu sekalipun dengan putri bungsunya yang bernama Karina Kartika Sari Dewi Soekarnoputri yang dilahirkan oleh Ratna Sari Dewi di Jepang. Kartika adalah putri tunggal Ratna Sari Dewi dengan Soekarno. Sepeninggal Soekarno, Ratna Sari Dewi diketahui tidak menikah lagi meski Dewi masih muda dan terlihat cantik saat itu. Sempat menjalin asmara dengan beberapa pria tapi hubungan itu tidak pernah sampai ke jenjang pernikahan. Akhirnya Dewi Soekarno memutuskan untuk tetap menjanda hingga saat ini.

Penulis adalah sejarawan Keio University, Tokyo, Jepang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUSTI NOEROEL

TAUFAN SOEKARNOPUTRA

GUNTUR SOEKARNOPUTRA