HARTINI SOEKARNO

HARTINI SOEKARNO 🌷

ISTRI KE  4 PRESIDEN RI I SOEKARNO

Ketika Soekarno Merayu Hartini 

Selama setahun, Bung Karno terus menebar jala cinta, melalui ungkapan kata-kata puitis dalam surat-suratnya. Hartini tetap bimbang, makin gundah… makin gulana…. Bahkan, ketika Bung Karno melamarnya untuk bersedia dijadikan istri kedua, Hartini tidak serta merta memberi jawaban. Bung Karno mengulang lamarannya, Hartini masih tetap belum bersedia. Lagi, Bung Karno melamar lagi, Hartini belum juga memutus kata.

“Ketika aku melihatmu untuk kali yang pertama, hatiku bergetar. Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama." rayu Bung Karno dalam salah satu suratnya pada Hartini.

Hartini, adalah seorang janda beranak lima, ketika bertemu Bung Karno di Salatiga, tahun 1952. Hari itu, Bung Karno dijadwalkan melakukan kunjungan ke Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam kunjungan tersebut, rombongan presiden dijadwalkan singgah di Salatiga. Mendengar Bung Karno akan singgah, sejak pagi rakyat kota Salatiga dan sekitarnya berbondong-bondong menjejali Lapangan Tamansari. Di lapangan itulah Bung Karno akan menyapa rakyat Salatiga dalam pidato yang selalu ditunggu-tunggu rakyat dengan antusias.

Ibarat cerita layar perak, setting berganti ke suasana kesibukan luar biasa di kediaman Walikota Salatiga. Ya, karena di kediaman Walikota itulah Bung Karno akan rehat sejenak sekaligus makan siang. Sepasukan ibu-ibu sibuk menyiapkan ini dan itu, mulai dari menyiapkan meja jamuan makan sampai ke urusan masak-memasak di dapur.

Di antara kaum perempuan yang sedang sibuk di dapur, tampak sosok perempuan berwajah lembut, berkulit bersih kuning langsat, perawakan semampai, rambut hitam sepinggang, dan… senyum manis tersungging di bibir yang merekah indah. Dialah Siti Suhartini, yang tinggal sekitar 100 meter dari rumah Walikota Salatiga, dan kebetulan pula, pagi tadi ia “dijawil” Walikota untuk ikut membantu di dapur, menyambut kedatangan Presiden Soekarno. Wanita yang di kemudian hari dikenal sebagai Hartini itu, memasak sayur lodeh untuk melengkapi masakan-masakan yang lain. Ia sendiri merasa “pe-de” dengan masakan sayur lodehnya.

Sementara itu di Lapangan Tamansari Bung Karno sudah tiba, dan rakyat mengelu-elukan dengan semarak. Sejurus kemudian, lautan manusia diam seketika, suasana hening, tersirep oleh suasana magis, menanti Bung Karno mengucap kata. Rakyat siap memekik “Merdeka!!!” sekuat-kuatnya jika nanti Bung Karno menguluk salam. Ternyata, Bung Karno membuka pidato dengan lantunan tembang “Suwe Ora Jamu”….

Suwe ora jamu

Jamu pisan jamu kapulogo

Suwe ora ketemu

Ketemu pisan nang Solotigo…

Kontan saja, rakyat bergemuruh, ada yang bertepuk tangan, ada yang ikut menyanyi, ada yang memekik Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!! Jelaslah… hati rakyat benar-benar terjerat oleh daya pikat Bung Karno. Begitu yang tampak pada suasana selanjutnya, ketika Bung Karno berpidato dengan berapi-api, dan rakyat khidmat menyimak kata demi kata, menikmat alunan tinggi dan rendah suara Singa Podium.

Singkat kalimat, usai berpidato Bung Karno diiringi pejabat daerah, ajudan dan pengawal, menuju kediaman Walikota Salatiga. Sesampai di sana, hidangan telah lengkap tersaji. Aroma masakan olahan dapur dari para juru masak pilihan, menyambar-nyambar hidung siapa saja di dekatnya. Sang perut pun mengirim sinyal “lapar” kepada tuannya. Jadilah Bung Karno dan yang lain, segera menikmati hidangan makan siang.

Bung Karno? Dia langsung menyambar sayur lodeh di depannya. Ya… sayur lodeh masakan Hartini di dapur tadi. Lahap! Lahap sekali! Sayur lodeh memang merupakan menu kesukaan Bung Karno. Begitu enaknya sayur lodeh di rumah Walikota Salatiga, sampai-sampai seusai jamuan, Bung Karno menyempatkan diri bertanya, “Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini. Saya ingin mengucap terima kasih kepadanya.”

Bisa dibayangkan bagaimana suasana ketika itu. Di mana ada Bung Karno, di situ ada antusiasme siapa pun untuk mendekat, melihat, bahkan kalau boleh mendekap, bahkan menciumnya jika diizinkan. Artinya, ketika Bung Karno menanyakan si pemasak lodeh, para perempuan yang bertugas di dapur menjadi gaduh. Maka, Hartini pun didorong-dorong oleh teman-temannya untuk maju… maju… menunjukkan diri, menemui Presiden, dan menerima ucapan terima kasihnya.

Dalam buku Srihana-Srihani Biografi Hartini Soekarno, terpapar pengakuan Hartini ihwal momen yang kemudian mengubah jalan hidupnya, di rumah Walikota Salatiga. Ia mengaku, gugup dan senang ketika maju dan mengulurkan tangan kepada Bung Karno. Hartini ingat betul, Bung Karno menjabat tangan Hartini begitu hangat dan… lama! Bung Karno benar-benar terkesima oleh kecantikan Hartini dengan segala kelebihannya sebagai sesosok perempuan. Sambil tetap memegang tangan Hartini, Bung Karno bertanya basa basi, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?”

Demi waktu, hari itu Soekarno jatuh cinta kepada Hartini pada pandangan pertama. Itu pula yang dikatakan Soekarno di kemudian hari dalam surat-surat cintanya kepada Hartini.

Pasca pertemuan pada pandangan yang pertama antara Presiden Soekarno dan Hartini di rumah Walikota Salatiga. Perjalanan dinas selanjutnya, menyisakan satu ruang yang hampa di ruang hatinya. Acara-acara kepresidenan selanjutnya, menyisakan satu ruang kosong di ruang pikirnya. Benar, sebongkah rasa, sebutir pikir, telah tertinggal di Salatiga, bersama kenangan mendebarkan saat jumpa Hartini, jagoan pemasak sayur lodeh.

Hartini sebagaimana disebut wartawan kawakan Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesia Jilid 5 adalah kenalan Panglima Divisi Diponegoro Kolonel Gatot Soebroto. Lewat perantara Gatotlah, Soekarno akhirnya bisa berkenalan dengan Hartini. Sementara menurut sejarawan Monash University John David Legge, hubungan Hartini dan Soekarno terjalin lewat jasa baik Kepala Staf Istana Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowardjojo. Soehardjo kemudian yang berperan dalam mengatur pertemuan mereka selanjutnya.

Bahkan, sesampai di Jakarta, bayang-bayang wajah ayu Hartini tetap meliuk-liuk indah menemani tatapan-tatapan kosong Soekarno. Senyum manis dari bibir yang indah, serta sorot mata lembut tapi menusuk, menjadi santapan lamunan Soekarno.

Bangkit dari himpitan cinta, bangkit dari lamunan, Soekarno langsung mengambil secarik kertas, memungut sebuah pena, dan menulis sebaris kata. Untaian kata-kata cinta tadi, tercatat dalam sejarah cinta Soekarno – Hartini, sebagai surat cinta pertama.

“Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.” Itulah goresan kata, yang kemudian dititipkan pada seseorang untuk segera disampaikan kepada Hartini nun jauh di Salatiga sana. Si penerima surat yang dipanggil dengan panggilan kesayangan “Tien”, kaget bukan kepalang. Belum selesai hatinya galau menerima surat cinta dari Presiden Republik Indonesia, sudah datang lagi telegram-telegram, dan surat-surat bernada cinta selanjutnya dari Bung Karno.

“Ketika aku melihatmu untuk kali yang pertama, hatiku bergetar. Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama. Ttd: …. SRIHANA. Begitu salah satu surat cinta yang datang kemudian. Ihwal nama SRIHANA? Itu adalah nama samaran Bung Karno. Adalah Bung Karno yang juga memberikan nama SRIHANI kepada Hartini, sebagai nama samaran pula. Alhasil, surat-menyurat Bung Karno dengan Hartini selanjutnya terus mengalir menggunakan nama samaran SRIHANA – SRIHANI.

Tahun 1953, tercatat sebagai pertemuan kedua antara Bung Karno dan Hartini. Lokasinya? Di Candi Prambanan. Selama itu pula, Bung Karno terus menebar jala cinta, melalui ungkapan kata-kata puitis dalam surat-suratnya. Hartini? Ia makin gundah… makin gulana….

Bahkan, ketika Bung Karno melamarnya untuk bersedia dijadikan istri kedua, Hartini tidak serta merta memberi jawab. Bung Karno mengulang lamarannya, Hartini masih tetap belum bersedia. Lagi, Bung Karno melamar lagi, Hartini belum juga memutus kata.

Janda dalam usia 28 tahun, dengan paras yang begitu ayu mempesona, sangat mungkin masih mendamba kehadiran seorang pria. Akan tetapi, Hartini tidak pernah menduga, jika pria yang dimaksud adalah seorang Presiden. Hartini tidak pernah menyangka bahwa pria yang dimaksud telah memiliki seorang first lady yang bernama Fatmawati.

Dalam kecamuk pikir dan gemuruh hati, Hartini hanya bisa berpaling kepada kedua orangtuanya, Pak Osan Murawi dan Mbok Mairah. Orangtua Hartini menjawab pertimbangan putrinya dengan mengatakan, “Dimadu itu abot (berat), biarpun oleh raja atau presiden. Opo kowe kuat? Tanyakan hatimu! Apa pun keputusanmu kami memberi restu!”

Satu tahun berhubungan cinta melalui surat dan sedikit pertemuan, akhirnya Hartini tak kuasa menolak pinangan Bung Karno, dengan segala konsekuensi yang telah dipikirkannya. Apalagi, benih-benih cinta yang disemai Bung Karno, memang telah tumbuh subur di hati Hartini. Hartini begitu mengagumi Bung Karno, terlebih setelah bertubi-tubi menerima kiriman surat cinta, dalam bahasa yang begitu indah, serta diselang-seling sisipan mutiara kata dalam bahasa Belanda dan Inggris.

Jawaban Hartini, “Ya… dalem bersedia menjadi istri ndalem” (Ya, saya bersedia menjadi istri tuan), tapi dengan syarat, Ibu Fat tetap first lady dan saya istri kedua. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita!”

Soekarno memutuskan menikahi Hartini di Istana Cipanas tanggal 7 Juli 1953. Kendati demikian, hubungan ini menjadi desas-desus yang menjalar ke luar.

Kecaman datang dari aktivis perempuan. Organisasi Persatuan Istri Tentara (Persit), Kongres Wanita Indonesia (Kowani), dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), berunjuk rasa menolak poligami Soekarno. Mereka menganggap poligami merendahkan martabat perempuan. Perwari bahkan mendukung penuh keputusan Fatmawati untuk keluar dari Istana Negara.

Cap miring dan perlakuan kurang nyaman diterima oleh Hartini. Nani Soewondo, aktivis Perwari kepada Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan mengatakan Hartini tak lebih dari seorang perempuan panggilan kelas atas ketika itu. Beberapa oknum anggota Gerakan Wanita (Gerwani) ikut protes; demonstrasi di depan rumah Hartini di Salatiga dengan melempari jendela rumahnya.

Beberapa surat kabar terbitan ibukota ikut mengkritik pernikahan Soekarno dengan Hartini. Harian Indonesia Raya dengan pemimpin redaksi Mochtar Lubis dan Harian Pedoman pimpinan Rosihan Anwar juga ikut melancarkan kampanye anti-pernikahan Soekarno dengan Hartini. 

Dari pernikahannya dengan Soekarno, Hartini melahirkan dua orang putera yaitu Taufan Soekarnoputra dan Bayu Soekarnoputra. Pernikahan Soekarno dengan Hartini bukanlah pernikahan Soekarno yang terakhir. Pasca menikah dengan Hartini, ternyata Soekarno juga menebar jala cintanya dengan wanita yang lain.

Dari sekian banyak istri Soekarno, hanya Hartinilah yang bersedia mendampingi Soekarno hingga masa-masa sulit di akhir hayatnya. Dalam memoar Rachmawati, putri ketiga Bung Karno dari Fatmawati, dia mengenang sosok Hartini sebagai seorang istri yang dengan tekun dan setia merawat Soekarno sampai detik terakhir kehidupan sang Putra Fajar. Kebencian yang sempat terpupuk sirna di hati Rachmawati, berganti hormat dan sayang.    

“Ia setia kepada Bapakku baik dalam masa jaya hingga pada masa kejatuhannya,” kenang Rachmawati dalam Bapakku Ibuku: Dua Manusia yang Kucinta dan Kukagumi. “Betapapun yang pernah kurasakan terhadapnya di masa-masa lalu, faktanya adalah hanya Bu Har yang menemani Bapak hingga akhir hayat!”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUSTI NOEROEL

TAUFAN SOEKARNOPUTRA

GUNTUR SOEKARNOPUTRA