HOTEL DES INDES BATAVIA

HERITAGE BUILDING ⌛

GAMBARAN KEMEWAHAN HOTEL DES INDES BATAVIA

Lewat sebuah mahakarya yang berjudul The Malay Archipelago yang dibuat pada tahun 1869, Wallace menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Batavia pada tahun 1861. Kala itu Wallace menginap di sebuah hotel mewah yang bernama Hotel Des Indes. Beberapa hari di Des Indes, Wallace mengaku sangat nyaman. Ia memuji bagaimana hotel menyediakan ruang duduk dan tempat tidur terbuka yang langsung mengarah ke beranda.

“Pengunjung juga bisa menikmati kopi dan minum teh di pagi hari ... Di tengah gedung terdapat ruang terbuka berbentuk segi empat dan sebuah bagunan berdiri di situ,” ungkap Wallace.

“Bangunan itu berisi sejumlah kamar mandi berdinding marmer yang siap pakai. Di sana juga ada hidangan table d’hote yang lezat pada jam 10 pagi dan makan malam pada jam 6 sore. Harga yang dikenakan setiap hari untuk hidangan tersebut tidak terlalu mahal.”

Tak hanya Wallace. Serdadu Belanda yang datang ke Hindia-Belanda pada awal abad 20, H.C.C Clockener Bousson juga menuturkan kenangan akan Hotel Des Indes. Dalam buku Batavia Awal Abad 20 yang diterbitkan pada tahun 2004, Bousson menceritakan perbincangannya dengan seorang kepala kondektur trem yang ia tumpangi.

Sang kepala kondektur mengatakan, meski tergolong mewah dan bergengsi, harga Hotel Des Indes sejatinya terhitung murah. “Di Singapura, saya harus membayar 17 golden per hari. Harga kamar di Des Indes per malam sangat bervariasi. Tergantung dari jenis dan besar kamarnya. Akan tetapi, harga per kamarnya hanya berkisar antara 6-10 gulden dan itu sudah termasuk makan,” ungkap Bousson.

Pujian lain juga diutarakan sebuah surat kabar dari luar negeri yang bernama Japan Chronicle yang terbit pada tahun 1907. Merekalah yang menobatkan Des Indes sebagai hotel terbaik di kawasan timur. Salah satu sorotan utama juga diberikan kepada Johan Matinus Ganvoort, Manajer Hotel Des Indes.

Ganvoort disebut berhasil mengelola Des Indes dengan sangat baik. Segala fasilitas Des Indes bahkan disebut-sebut setara dengan hotel-hotel mewah di New York dan London.

“Begitu pula dengan para staf, termasuk para mandor dan jongens (jongos) yang melayani dan siap dengan berbagai bahasa: Prancis, Inggris, Jerman. Sehingga tidak mengherankan jika mereka (orang Belanda) yang pernah ke Jawa seolah ‘lupa’ dan tak ingin kembali ke Eropa,” tulis Achmad Sunjayadi dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda 1891-1942 (2019).

Menariknya, Achmad juga tak lupa mengutip pendapat seorang Turis yang bernama Thomas Reid. Pelancong tersebut pernah menginap di Des Indes pada awal abad ke-20 dan langsung terpukau dengan pelayanan yang didapatnya selama menginap.

“(Des Indes) memiliki sesuatu untuk dipelajari dalam hal akomodasi tamu, kebersihan umum, dan kewajaran harga. Namun, tidak ada yang dapat mengalahkan kesantunan dan perhatian manajemen Hotel Des Indes di Batavia. Dan Mr. Gantvoort adalah manajer Hotel Des Indes yang sangat santun,” kutip Achmad.

Sejarah Berdirinya Hotel Des Indes

Hotel Des Indes berdiri di atas lahan milik seorang Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang bernama Reiner de Klerk yang menjabat dari tahun 1777 sampai dengan tahun 1780. Saat De Klerk menjual tanahnya pada tahun 1774, lahan itu berpindah tangan ke beberapa pejabat Belanda. Perlahan, pada tahun 1829 muncul sebuah hotel untuk kali pertama di atas bekas tanah De Klerk.

Kala itu, nama hotel tersebut masih Hotel Chaulan. Nama itu diambil dari nama belakang sang pemilik, Surleon Antoine Chaulan, pria berkebangsaan Prancis. Merasa kurang hoki, nama hotel diubah menjadi Hotel de Provence pada tahun 1835, sebelum berganti nama lagi menjadi Het Rotterdamsch Hotel atau Hotel Rotterdam pada tahun 1851.

Setahun kemudian, seorang pengusaha Swiss bernama Francois Auguste Emile Wijss membeli Hotel Rotterdam dari tangan Chaulan dengan harga 40 ribu gulden. Pada 1 Mei 1856, di tangan Wijss Hotel Rotterdam berganti nama menjadi Hotel Des Indes. Namun, tanpa alasan yang jelas, Wijss kemudian menjual hotel ini kepada Louis Cressonnier. 

Cressonier menjadi pemilik Hotel Des Indes hanya sampai dengan tahun 1880. Setelah Cresonnier meninggal dunia pada tahun 1870, keluarganya menjual hotel ini kepada Theodoor Gallas pada tahun 1880. Pada tahun 1886, Gallas menjual hotel ini kepada Jacob Lugt yang kemudian memperluas hotel secara besar-besaran dengan cara membeli tanah di sekeliling hotel. Setelah Lugt mendapat masalah keuangan, Hotel Des Indes dijadikan perseroan terbatas N.V. Hotel Des Indes pada tahun 1897. Pada tahun 1903, hotel ini berada di bawah manajemen J.M. Gantvoort sebelum dikelola oleh Nieuwenhuys.

Meski beberapa kali berganti kepemilikan, Hotel des Indes tetap mempertahankan kualitas pelayanannya. Menurut Fadly Rahman, dalam buku Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia pada Masa Kolonial antara tahun 1870 sampai dengan tahun 1942 yang diterbitkan pada tahun 2016, menjelaskan bagaimana rijsttafel menjadi benang merah yang terus menerus mengangkat gengsi Des Indes. Hotel mewah itu bahkan disebut menjadi pionir dalam sajian makanan mewah berkonsep rijsttafel.

Istilah rijsttafel secara sederhana dikenal dengan nama "rice table". Dalam definisi lengkapnya, rijsttafel adalah konsep jamuan makanan atau penyajian perpaduan makanan lengkap ala Indonesia dan Eropa. Dalam tahapannya, prosesi makan diawali dengan makanan pembuka, menu utama, dan diakhiri dengan makanan penutup salah satunya adalah berupa ice cream. Ice cream termasuk makanan penutup yang mewah dan mahal kala itu, karena bahan dasar dari ice cream berasal dari es batu yang harus diimpor secara langsung dari Boston, Amerika dan disimpan di dalam sebuah kotak es. Dimana pada masa itu lemari es atau freezer belum dibuat.

Pada tahun 1910 John T. Mc Cutcheon menulis, bila dibandingkan dengan Hotel Des Indes, fasilitas dan kualitas pelayanan hotel di seluruh Asia berada di bawah Hotel Des Indes. Lebih lanjut, ia bercerita tentang kemewahan rijsttafel di hotel ini,

“Anda harus makan siang lebih awal agar ada cukup waktu untuk menikmatinya sebelum makan malam. Makan siang disajikan oleh 24 orang pelayan yang berbaris memanjang, mulai dari dapur hingga ke meja, dan kembali ke dapur dengan berbaris. ... Setiap pelayan membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari keseluruhan 57 lauk pauk untuk rijsttafel. Anda mengambil sendiri lauk dengan sebelah tangan hingga lelah, lalu bergantian dengan tangan yang sebelah lagi. Ketika Anda sudah siap makan, piring anda terlihat seperti bunker di padang golf yang dipenuhi nasi".

Uniknya, hingga dasawarsa ketiga abad ke-20, Hotel Des Indes masih dianggap sebagai hotel dengan penyajian rijsttafel terbaik. “Pelayanan yang mewah dan memikat menjadi daya tarik tersendiri bagi para tamu yang ingin menikmati suasana makan di ruang makan hotel itu,” imbuh Fadly.

Selain konsep rijstafel yang diterapkan pihak hotel untuk memanjakan para tamunya yang benar-benar dilayani bak seorang raja dan ratu. Fasilitas lain yang terdapat di dalam Hotel Des Indes juga tidak kalah menarik.

Bangunan Hotel Des Indes terdiri dari bangunan utama dan paviliun yang saling terhubung. Pada akhir tahun 1927, Manajemen hotel kemudian memutuskan untuk membangun sebuah gedung utama baru yang lebih besar dimana akan terdapat ruang makan dan ruang dansa nantinya. Proyek ini diberikan kepada biro konsultan AIA, meskipun pada kenyataannya biro konsultan Fermont & Ed. Biro Cuypers adalah biro pelaksana proyek tersebut yang membeli proyek tersebut dari AIA dan proyek tersebut selesai pada tahun 1928.

Sisi pendek bangunan utama Hotel des Indes yang baru berubah menjadi bangunan dua lantai yang menghadap Molenvliet dengan pintu masuk utama di salah satu sisi bangunan yang panjang. Restorannyapun, kini memiliki teras yang luas dan berada di lantai dasar. Ballroom berada sebagai ruang dansa juga berada di lantai pertama. Tenda beton untuk memberikan bayangan dibangun di fasad atau sisi timur dan selatan. Fitur mencolok dari fasad luar adalah jendela kaca bertimbal di atas awning di sepanjang bangunan.

Metode konstruksi yang sering digunakan biro AIA adalah penggunaan tembok pembatas dari batu kali alami, dinding plester putih, dan atap ubin yang juga diaplikasikan pada proyek Hotel des Indes sebelumnya. Struktur penopang beban terbuat dari beton bertulang, seperti halnya awning dan batu koping yang berada di atas tembok pembatas.

Suasana loby hotel kala itu terlihat sangat cantik dengan perabotan mewah yang diimport langsung dari Eropa. Hotel Des Indes juga sering disewakan untuk acara resepsi pernikahan dan gala diner. Acara pesta dan gala diner juga sering diadakan di Ballroom Hotel Des Indes yang diperkirakan bisa menampung kurang lebih 500 tamu. Hotel juga sudah dilengkapi dengan peralatan binatu, makan dan masak yang terbilang sudah sangat modern di masanya.

Tidak heran Hotel Des Indes pernah mendapat julukan sebagai hotel termewah kala itu dengan fasilitas dan kualitas pelayanan yang sepadan dengan harganya. Berikut ringkasan beberapa detail gambaran fisik keindahan Hotel Des Indes dan aktivitas operasional hotel yang tidak kalah dengan hotel-hotel di jaman sekarang yang tentu saja lebih modern.

- Aspal di dalam kompleks hotel diperkirakan ada sepanjang 2 kilometer.
- Ada lebih dari 1.000.000 item binatu yang dirawat setiap tahun.
- Diperlukan tidak kurang dari 500.000 meter kubik air untuk perusahaan setiap tahunnya.
- Ada 120 telepon yang terhubung ke papan switch dengan 9 saluran eksternal yang digunakan, di mana ada sekitar 500 panggilan dilakukan setiap harinya.
- 5.000 kata dikirim melalui kabel (telegraph) ke seluruh dunia setiap bulannya.
- Terdapat sekitar 40 orang dirawat di klinik hotel.
- Kamar hotel menggunakan linen setiap hari sebanyak 1.000 serbet, 500 taplak meja, 2.000 sarung bantal, 1.000 sarung bantal gulung, 1.000 selimut, 400 setelan pelayan bergaris, 400 jas pelayan putih, dan 200 macam pakaian lainnya.
- Peralatan makan dan minum yang digunakan di restoran ada sebanyak 2.000 diner plate, 500 desert plate, 700 cangkir dan saucer, 2.000 silverware yang berupa pisau, garpu, sendok, garpu kecil, sendok kecil, pisau pencuci mulut dan pisau daging, untuk gelas ada sekitar 1.000 gelas goblet dan 3.500 berbagai jenis gelas lainnya.
- Untuk bahan makanan pokok sendiri diperkirakan ada sekitar 100.000 kilogram beras yang dikonsumsi setiap tahunnya khusus untuk nutrisi staf penduduk lokal.
- Tamu hotel dilayani 252.000 kali setahun tidak termasuk makan malam tambahan.
- Petugas jaga operasional terdiri dari 28 pria Eropa, 50 pria Cina dan 590 personil lokal.

Pada Tahun 1957, pemerintah Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, termasuk Hotel Des Indes salah satunya.

Selang 3 tahun nama Hotel Des Indes berganti menjadi Hotel Duta Indonesia atau yang disingkat dengan HDI. Pengelolaannya kemudian diserahkan kepada Dewan Tourisme Indonesia yang diketuai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat itu.

Bagaimanapun juga pamor HDI (Hotel Duta Indonesia ex Hotel Des Indes) mulai pudar kala itu, kalah bersaing dengan keberadaan Hotel Indonesia yang dinobatkan sebagai hotel bintang 5 pertama yang dibangun di Jakarta, Indonesia. Hotel Indonesia sendiri diresmikan oleh Presidesn Soekarno pada tanggal 5 Agustus1962 untuk menyambut Asian Games IV pada tahun 1962.

Agar tidak kalah pamor dan bisa bersaing dengan Hotel Indonesia. Dari sinilah muncul ide untuk menjadikan HDI (Hotel Duta Indonesia ex Hotel Des Indes) bukan hanya sekedar hotel mewah namun juga menjadi pusat perbelanjaan yang mewah. Sultan menggandeng pengusaha Hongkong untuk mewujudkan idenya tersebut.

Ide inilah yang menjadi penyebab awal terjadinya pembongkaran HDI (Hotel Duta Indonesia ex Hotel Des Indes) pada tahun 1971. Yang menyedihkan, pembongkaran Hotel des Indes sepenuhnya dilakukan dengan sadar dan atas persetujuan dari pemerintah pusat.

Saat itu juga HDI (Hotel Duta Indonesia ex Hotel Des Indes) yang telah dinobatkan sebagai hotel tertua di Asia menghilang dari muka bumi dan berganti dengan sebuah Pusat Perbelanjaan modern Duta Merlin dan kini menjadi Carefour. Semoga tindakan serupa tidak kembali terjadi pada bangunan-bangunan cagar budaya lainnya di Indonesia yang hampir bernasib sama dengan bangunan Hotel Des Indes yang kini hanya tinggal kenangan yang tak bersisa. Foto dan cerita tentang kejayaannya di masa lalu hanyalah pengobat rindu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUSTI NOEROEL

TAUFAN SOEKARNOPUTRA

GUNTUR SOEKARNOPUTRA