NI POLLOK

NI POLLOK 🌷

Le Mayeur di Mata Ni Pollok

Dia biasa kupangil Boy. Selain bermata biru, dia juga berdarah biru. Sebelum menginjakkan kakinya ke Pulau Dewata, dia bukanlah pelukis terkenal di negaranya. Dia hanyalah seseorang yang berbakat seni dengan gelar insinyur. 

Lelaki matang itu kemudian ke Bali untuk pertama kalinya di tahun 1932, ketika berusia 52 tahun. Pelukis itu kemudian menyewa sebuah rumah di Desa Banjar Kelandis, Denpasar. Rumahnya berseberangan dengan Pura Dalem Prajurit, tempatku biasa menari. Di sinilah Boy melihatku untuk pertama kalinya.

Kala itu … usiaku masih 15 tahun. Boy sangat tertarik untuk menjadikanku sebagai model lukisannya dan meminta pimpinan sanggar agar aku boleh berpose untuknya. 

Hampir tiga tahun aku menjadi sosok yang paling sering dilukis oleh Boy. Selama itu pula Boy dengan tekun mengajari aku membaca dan menulis. Hamparan pasir di Pantai Sanur menjadi papan tulis dan rantingpun menjadi alat tulisnya. Karena Boy dan pergaulanku, aku menjadi fasih berbahasa Inggris, Jerman dan Prancis. 

Di awal tahun 1933, Boy mengadakan pameran lukisan di Singapura. Lebih dari 30 lukisan yang dipamerkan, tentu saja termasuk lukisan diriku. Hampir semua lukisan Boy laku terjual. Pameran yang lumayan sukses itu membuat Boy semakin dikenal dan lukisannya menjadi koleksi orang-orang dari mancanegara. 

Rencananya Boy hanya akan tinggal di Bali selama 8 bulan, namun akhirnya Boy memutuskan menghabiskan sisa hidupnya di sana. 

Dari hasil pameran di Singapura, Boy membeli tanah seluas 32 are di daerah Pantai Sanur, dan membangun sebuah rumah sekaligus studio lukis. 

Rumah itu dilengkapi dengan taman yang indah pada masa itu, dan sering mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Rumah pantai itu memiliki arsitektur Bali yang kental. Pilar dan jendelanya berhiaskan ukiran Bali. Boylah yang merancang ukirannya. 

Ada tiga ruang utama: ruang tamu, ruang keluarga dan studio tempatnya bekerja. Ada 10 lukisan dipajang di ruang tamu yang dilengkapi dengan perabotan antik khas Bali, pernak-pernik dari perak, patung, dan buku. Ruang keluarga dipenuhi dengan lukisan gaya Eropa, sementara itu lukisan-lukisan yang berukuran besar disimpan di studio.

Hubungan kerja antara kami yang tadinya hanya sebatas model dan pelukis pun berubah. Pada tahun 1935, ketika usiaku mencapai 18 tahun, Boy menikahiku. Setelah berkeluarga aku masih sering berpose untuk suamiku. 

Sebagai model seumur hidup, ada satu permintaan suamiku. Permintaan itu adalah agar aku tak pernah melahirkan anak. 

Menurut suamiku perubahan bentuk tubuhku akibat melahirkan dan menyusui anak tak baik bagi seorang model seperti aku. 

Aku sadar, kadang … dimatanya, aku hanya objek lukisan. Karena cinta dan pengabdianku pada suamiku, aku berusaha untuk memahami keinginannya, meskipun hatiku galau.

Aku lebih ā€œberuntungā€ dibandingkan dengan Kubil dari desa Klandis Kedaton yang pernah menjadi model Emilio Ambron (1905 – 1996). 

Oleh Theo Meier, pelukis asal Swiss, Kubil sempat ditengarai menaburkan guna-guna ke dalam spaghetti Ambron dengan harapan bisa dinikahi oleh pelukis asal Italia itu. 

Pada tahun 1941, Boy kembali mengadakan pameran di Singapura. Kali ini, selain lukisan-lukisan yang dihasilkannya di Bali, Boy juga menggelar hasil goresannya selama di Belgia, India dan Venice.

Ketenaran Boy semakin menanjak. Begitupun kehidupan kami. Ketika perang pecah, pasokan kanvas dan alat lukis dari Belgia sempat terhenti. 

Kedatangan Jepang di Sanur mengharuskan suamiku menjadi tahanan rumah. Suamiku pun memanfaatkan cat air dan bahan yang ada seperti, tripleks, dan karung goni sebagai media lukisannya. 

Semasa perang, pariwisata di Bali lumpuh total. Namun, bangkit kembali ketika KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij = perusahaan pelayaran Belanda 1888 – 1967) beroperasi di perairan Bali. 

Turisme di Bali, dan di Indonesia secara umum, mulai menggeliat pada tahun 1942. Paket wisata yang ditawarkan Belanda memasukkan rumah kami sebagai salah satu tujuan wisata tambahan. Bisa dibayangkan betapa sibuknya kami meladeni turis mancanegara yang baru saja merapat di Pantai Sanur. 

Hampir setiap literatur yang terbit pada saat itu menyebutkan kehangatan dan keramah-tamahan kami kala menyambut dan menjamu para tamu dari berbagai bangsa. 

Salah satu yang paling kuingat adalah pemberitaan tentang kecantikan dan ā€œkepolosankuā€. Ya … aku, dan juga wanita-wanita di Bali, sudah terbiasa bertelanjang dada dalam keseharian kami. 

Publikasi ini tentu saja membuat Belanda panas-dingin. Untuk mengesahkan penjajahan dan untuk menunjukkan ā€œkemajuanā€ peradaban di Bali, ā€œketelanjanganā€ ini tentu saja bisa mencoreng Belanda di mata dunia.

Namun, di sisi lain, Belanda masih berkeinginan untuk meningkatkan pariwisata di Bali, meskipun dengan mempromosikan kepolosan wanita Bali.

Alhasil, propaganda Belanda semasa penjajahan ā€œkunjungi Bali, sebelum semuanya tersentuh peradabanā€ pun menjadi senjata yang ampuh untuk mendatangkan turis. 

Kesehatan Boy menurun ketika dia terjatuh dari punggung Gipsy, kuda piaraan kami. Kakinya patah dan mengharuskannya menggunakan tongkat. 

Pada tahun 1958, aku menemani suamiku yang menderita kanker telinga untuk berobat ke negara kelahirannya. Dua bulan kemudian, Boy meninggal dan dimakamkan di sana. 

Ada pria lain yang mengisi hidupku setelah Boy meninggal. Dia adalah seorang dokter asal Italia bernama Federico Alliney. Kami sempat menikah, namun ketidakpastian hukum membuatnya harus pulang ke negaranya. 

Perkawinan antar bangsa kerap menjadi pembicaraan. Mitos tentang guna-guna seperti yang dialami Kubil terkadang ā€œdihidupkanā€ kembali. Namun, sebagai perempuan Bali aku bisa menepis anggapan usang mengenai wanita-wanita yang dilecehkan pada jamanku.

Pada tahun 1958, Ni Pollok menghibahkan salah satu rumah warisan Le Mayeur di dekat Pantai Sanur beserta seluruh lukisan karya Le Mayeur kepada Pemerintah Indonesia untuk dijadikan Museum. 

Referensi: 

Emilio Ambron (Bruce W. Carpenter, 2001), Artists on Bali (Ruud Spruit, 1997), dan Bali Enchanted Isle (Helen Eva Yates, 1933).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUSTI NOEROEL

TAUFAN SOEKARNOPUTRA

GUNTUR SOEKARNOPUTRA