RUMAH SAKIT ELISABETH SEMARANG

HERITAGE BUILDING ⌛

RUMAH SAKIT ELISABETH SEMARANG

Di Kota Semarang pada tahun 1920an hanya ada dua rumah sakit yaitu Central Burgelijk Zienkenhuis (CBZ) yang merupakan rumah sakit pemerintah (sekarang RS dr.Kariadi) dan Juliana Zienkenhuis yang merupakan rumah sakit milik swasta (sekarang RS Bhakti Wira Tamtama). Pada masa itu, kedua rumah sakit tersebut sudah tidak mampu lagi menampung pasien yang sudah semakin banyak jumlahnya. Terlebih dengan adanya berbagai jenis wabah penyakit yang sedang melanda kota Semarang dan banyak merenggut korban jiwa, maka dengan tekat bulat serta keyakinan yang kuat, para suster OSF berupaya mewujudkan cita-citanya, yaitu mendirikan sebuah rumah sakit Katholik di Kota Semarang.

Maka menjelang peringatan setengah abad berdirinya konggregasi suster-suster St. Fransiskus di Indonesia, para suster mengumpulkan dana dari para dermawan, pemerintah kota praja Semarang serta dari pusat Suster-suster St. Fransiskus. Pada tanggal 3 September 1923 dana tersebut digunakan untuk membeli sebidang tanah bekas kuburan Tionghoa seluas 34.000 m2 di daerah perbukitan candi baru, dengan pemandangan yang sangat indah dan lingkungan tenang. 

Pembangunan gedung rumah sakit bukanlah tanpa kesulitan, sejak peletakan batu pertama pada tanggal 9 Maret 1926 oleh Mgr.APF Van Velsen SJ, pembangunan dilaksanakan oleh 3 kontraktor yaitu Ir.Karsten, Ir.Zoetmulder, Ir.Peters dan Ir. Keliverda. Harga bahan bangunan pada saat itu mengalami kenaikan yang luar biasa sehingga dibutuhkan dana tambahan yang cukup besar

Berkat karunia Tuhan pembangunan gedung dapat selesai pada tanggal 8 Agustus 1927. Berbagai persiapan menjelang peresmianpun dilaksanakan antara lain dengan menempatkan 50 tempat tidur dan peralatan-peralatan lainnya.

Bertepatan dengan perayaan peringatan St.Lucas sebagai pelindung profesi kedokteran maka pada tanggal 18 Oktober 1927, RS St. Elisabeth resmi dibuka oleh Mgr. Van Velsen,SJ didampingi Rm. P. Hoeberechts, SJ dan Residen Semarang Van Gulk. 

Pada masa pendudukan Jepang, RS St. Elisabeth diambil alih Jepang dan dijadikan kantor militer. Para suster Belanda ditawan dan 9 orang diantaranya meninggal di kamp tawanan.

RS St. Elisabeth diserahkan kembali pada tanggal 1 September 1945 dalam keadaan porak poranda dan kekurangan tenaga. Menyaksikan kenyataan ini, para suster harus bekerja keras. Secara resmi pada tanggal 3 September 1945 Sr. Charitas Lammerink bersama 2 suster lainnya berusaha memulihkan kembali kondisi rumah sakit yang telah porak poranda menjadi utuh seperti sedia kala sehingga rumah sakit bisa beroperasi kembali sampai dengan saat ini.

Kapel di salah satu sudut Rumah Sakit St Elisabeth merupakan bagian bangunan Rumah Sakit St. Elisabeth yang cukup tua dan unik di Kota Semarang. Kondisinya masih kokoh dan terjaga. Hingga kini, bangunan yang didirikan pada 1927 ini selalu tampak bersih dan masih digunakan untuk ibadah setiap hari.

Kapel adalah istilah untuk menyebut sebuah gereja kecil yang berada di kompleks bangunan. Misalnya seminari (sekolah pastur) hingga bangunan-bangunan sekuler seperti sekolah universitas, rumah sakit, penjara, istana hingga kapal.

Tujuan dibangunnya kapel, tentu saja sebagai tempat beribadah bila para umatnya tidak sempat ke gereja karena alasan jarak tempuh yang jauh atau karena terisolasi (seperti di dalam asrama misalnya). Alasan lain pendirian kapel agar umat dapat beribadah secara pribadi dengan tenang sebab ukuran kapel yang kecil dan hanya bisa menampung sedikit umat.

Kapel RS St Elisabeth ini termasuk salah satu bangunan cagar budaya, peninggalan kolonial Belanda. Kendati usianya sudah tua, kapel selalu dirawat dan dipelihara. Tak heran hingga saat ini semua bangunan dan perabotan yang ada di dalam masih terlihat bagus.

Kapel, menurut Suster Clarita, dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Posisinyanya tetap berada di dalam lingkungan RS Elisabeth, menyatu dengan bangunan Rumah Sakit. Bangunan tersebut hanya mengalami beberapa kali renovasi. "Karena memang kalau bangunan cagar budaya tidak boleh diubah. Hanya lantainya saja yang pernah diperbaiki," ujarnya.

Desain Kapel tampak begitu indah, bangunannya tinggi dilengkapi dengan jendela yang terbuat dari kaca-kaca. Untuk membuka jendelanya yang tinggi, harus menggunakan alat pemutar dari bawah.

Yang masuk kapel pertama dan keluar terakhir, dia yang membuka dan menutup jendela kapel. Di dinding kapel juga dihiasi dengan foto-foto berukuran besar. Bangku-bangku dipenuhi dengan Alkitab. Lampu-lampu yang ada di dalam kapel di desain apik dan berkesan klasik. Semua yang ada di dalam kapel begitu rapi dan indah.

Untuk ornamen atau alat-alat doa yang ada di dalam kapel, juga merupakan peninggalan Belanda. Seperti tempat lilin dari kuningan, bangku, mimbar. Semua barang di dalam Kapel peninggalan Belanda. Hanya ditambah AC karena banyak umat yang beribadah di kapel. "Doa jalan salib yang ada gambar Yesus itu dari Belanda," tutur Suster Clarita.

Selama kapel berdiri, dari dulu sampai sekarang Kapel terbuka untuk umum, tidak bersifat ekslusif. "Dari dulu sampai sekarang kapel selalu penuh, terbuka untuk umum," papar dia.

Semua alat-alat, ungkap Suster Clarita, harus dijaga. Tempat lilin dari kuningan selalu dibersihkan setiap Sabtu. Apalagi sekarang harga kuningan tinggi. Maka, barang-barang kuno yang masih ada di Kapel selalu dibersihkan dengan braso agar tetap memancarkan kilau keemasannya.

Lantai kapel tak hanya satu kali dipel hingga bisa licin dan mengkilap. Tapi sampai 3 kali. "Karena lantainya tidak  ada lagi yang menjual, jadi kami jaga betul, kendati ada yang sudah diganti tapi hanya sebagian kecil saja," tambahnya.

Kapel ini, lanjut Suster Clarita, sederhana dan tak ada barang-barang mewah seperti di Kapel Gedangan yang betul-betul kuno dari Belanda, dan Kapel Bangkong yang menjadi cagar budaya. Dulu ada hiasan berlian dan akik-akik tapi sekarang sudah hilang. Entah siapa yang mengambilnya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUSTI NOEROEL

TAUFAN SOEKARNOPUTRA

GUNTUR SOEKARNOPUTRA