CINDY ADAMS

CINDY ADAMS 🌷

" Tapi saya bukan CIA! Alasan saya berada di Indonesia sebenarnya amat sederhana, yakni menulis buku tentang salah satu pemimpin terhebat di masanya, yang melahirkan Negara Indonesia. Tidak ada alasan lain! Saya hanya ingin menulis buku tentang seseorang yang sangat istimewa." 

" Saya pikir, saya berada di hadapan salah satu dari empat pemimpin dunia yang paling penting dan saya sangat ingin mewawancarainya! "

📖

Wawancara terhadap Cindy Adams pada majalah Tempo edisi bulan Desember 2014.

Cindy Adams adalah orang pertama dan bisa dibilang satu-satunya wartawati yang berhasil mewawancarai Bung Karno dengan sangat detail. Bukan hanya tentang masalah tata negara tetapi termasuk masalah pribadi Bung Karno yang berhasil dia korek.

Bung Karno memang merupakan sosok yang membuat banyak jurnalis tergiur untuk mewawancarai dan menulis tentang riwayat hidupnya. Namun hanya Cindy Adams yang mampu memikat hati Bung Karno dan diizinkan untuk melakukan wawancara dan menulis riwayat hidupnya.

Keputusan Bung Karno mengizinkan Cindy Adams yang merupakan Warga Negara Amerika untuk menulis autobiographynya sempat membingungkan banyak kalangan saat itu, karena pers Amerika dikenal sangat kontra terhadap Bung Karno, sementara Bung Karno sendiri sedang gencar-gencarnya melawan imperialisme. Hanya kepada Cindy, Bung Karno seolah pasrah dan menganggap Cindy sangat jujur dalam tulisannya.

Selanjutnya Bung Karno meminta Cindy untuk menulis riwayat hidupnya ke dalam sebuah buku yang berjudul "Soekarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams" yang diterjemahkan menjadi "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia". Buku tersebut telah dicetak dalam berbagai bahasa dan menjadi buku best seller karena dianggap mampu menceritakan sosok Bung Karno dengan sangat detail yang tidak diketahui banyak orang sebelumnya dan diceritakan dengan sangat jujur dalam buku tersebut.

Autobiography Bung Karno tak hanya mendekatkan Cindy dengan Bung Karno yang dipanggilnya "Bapak" tetapi dengan seluruh Keluarga Bung Karno termasuk dengan Dewi Soekarno yang dia anggap sebagai "The God Mother".

Cindy menceritakan proses penyusunan autobiography Bung Karno ini ke dalam buku keduanya yang berjudul "My Friend The Dictactor". Dalam buku keduanya ini, dia menceritakan bagaimana awal mula bertemu dengan Bung Karno sampai dengan hari terakhir ia melihat Bung Karno.

"The Big Bung", "The Great Bung", "The Great Bapak", adalah sebutan untuk Bung Karno yang banyak ditemukan dalam buku kedua Cindy. Bahkan ada kolega yang kaget ketika Cindy memanggil Bung Karno dengan sebutan "Bapak". Panggilan tersebut terdengar sangat aneh khususnya untuk orang asing yang memanggil Bung Karno dengan sebutan "Bapak", kecuali orang tersebut memiliki hubungan yang sangat special dengan Bung Karno.

Kisah ini dimulai ketika Cindy turut serta dalam rombongan misi kesenian Presiden Kennedy yang dipimpin suaminya, komedian Joey Adams. Saat itu, rombongan menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Baik Cindy dan Bung Karno saling terpesona ketika berhadapan satu sama lain.

Reputasi Bung Karno yang mendunia inilah yang menggerakkan hati Cindy untuk meminta ijin mewawancarai Bung Karno. "Saya berpikir bahwa saya berada di hadapan salah satu dari empat pemimpin besar di dunia yang paling penting dan saya sangat ingin mewawancarainya. Saya katakan, apakah kita bisa berbincang setelah acara usai? Beliaupun mengijinkan!" kata Cindy.

Bung Karno sangat terkesan dengan kepribadian Cindy yang hangat, ramah dan humoris sehingga mengijinkan dirinya untuk diwawancarai oleh Cindy. Akhirnya Bung Karno berhasil Cindy wawancarai untuk pertama kalinya di Istana Merdeka.

Cindy menetap di Indonesia selama empat, lima bulan. Ketika ditanya wartawan Tempo alasan Bung Karno memilih dia untuk menulis autobiography Bung Karno, Cindy hanya menjawab, " Entahlah! Mungkin Bapak mengira saya tidak tahu banyak tentang Indonesia dan tidak akan menanyakan hal-hal yang sulit."

Setiap pagi pukul 06.30, Cindy sudah berada di istana dan ikut menikmati kopi tubruk bersama Bung Karno. "Bapak selalu minum kopi tubruk dan selalu kopi tubruk." Menurut Cindy, tidak mudah menggali informasi dari seorang Bung Karno, suasana nyaman harus terbangun terlebih dahulu agar Bung Karno dapat membagikan kisah hidupnya sampai dengan hal-hal yang terpahit sekalipun.

Cindy mengaku berusaha bersikap humoris di setiap wawancara. Hal itu sangat membantu memancing mood Bung Karno untuk bisa menceritakan secara detail kisah hidup dan perjuangannya bahkan penderitaannya selama dalam pengasingan. "Ia menceritakan bagaimana sulitnya menyatukan lebih dari 17 ribu pulau dengan beragam budaya dan bahasa yang berbeda-beda menjadi satu negara. Bung Karno hanya butuh bercerita kepada seseorang yang mudah diajak bicara," ungkap Cindy.

Adapun hal-hal yang menjadi penghalang pada saat proses wawancara adalah ketika ada sekelompok orang di dekat Bung Karno. "Bung Karno akan mengajak mereka mengobrol sehingga membuat mereka tertawa. Saya berharap di saat seperti ini orang-orang disekitarnya agar bisa membantu saya. Tapi mereka jarang ada yang mau membantu. Oleh karena itu, kami harus pergi ke suatu tempat yang sepi dimana hanya ada kami berdua, tanpa ada orang lain yang mendengarkan. Pada saat wawancara Bapak tidak pernah memakai sepatu," jelas Cindy.

Tempat sepi yang dimaksud Cindy adalah teras Istana Merdeka dan Istana Bogor atau ketika mereka berdua berjalan mengendarai mobil dan keluar untuk makan malam bersama. Waktu yang berharga tersebut dimanfaatkan oleh Cindy dengan sebaik-baiknya. "Di saat-saat seperti itulah baru beliau akan menceritakan semuanya," lanjut Cindy. 

Selama proses wawancara, Cindy tidak pernah merekamnya karena hal ini akan membuat Bung Karno berhenti berbicara. Cindy hanya akan mencatat setiap detail kisah hidup Bung Karno termasuk pada saat Bung Karno di penjara yang membuatnya harus pergi ke penjara seminggu kemudian untuk mengecek Bung Karno.

Setelah data terkumpul baik dari Bung Karno atau dari sumber lainnya, data tersebut akan dicek kembali kebenarannya. Data ini berkaitan dengan peristiwa dan tanggal bersejarah. Jadi Cindy akan selalu melakukan "cross check" untuk setiap info yang keluar dari mulut Bung Karno dan info lain yang ia dapatkan. Proses pengecekan melibatkan akademisi dan profesional yang ahli di bidangnya. Mereka bertugas membaca dan mengkoreksi apa saja yang sudah Cindy tulis. Setiap kembali ke Indonesia, biasanya Cindy akan mengonfirmasi sejumlah data yang dianggap salah oleh para ahli. 

Hubungan Bung Karno dengan Amerika setelah JFK meninggal, bisa dikatakan sangat buruk. Tetapi Bung Karno masih bisa bersahabat dengan Howard Jones, pengganti JFK, Cindy dan Joey Adams, suami Cindy. Pengganti Howard Jones yang dikirim ke Jakarta menjelang Tragedi 1965 sangatlah berbeda dengan Howard Jones.

Seringnya Cindy bolak-balik ke istana, membuat beberapa pihak mencurigainya sebagai bagian dari agen CIA. "Tapi saya bukan CIA. Alasan saya berada di Indonesia sebenarnya amat sederhana, yakni menulis buku tentang salah satu pemimpin terhebat di masanya, yang melahirkan Indonesia. Tidak ada alasan lain. Saya hanya ingin menulis tentang seseorang yang sangat istimewa."

Cindy memberi judul buku keduanya dengan judul "My Friend The Dictator". Di Amerika, Bung Karno dianggap sebagai diktator, meski sang diktator tersebut adalah sahabatnya sendiri. "Buku ini untuk saya dan orang-orang Amerika. Ini memang tidak untuk Bapak dan orang-orang Indonesia. Buku yang pertama untuk beliau, Indonesia dan dunia. Buku kedua sebagai humor, apa yang saya jalani sebagai orang Amerika di Indonesia," kata Cindy.

Di Indonesia, buku "My Friend The Dictator" diubah judulnya menjadi "Soekarno My Friend." Ketika penerbit di Indonesia mengonfirmasikan hal itu kepadanya, Cindy hanya mengatakan, "Baiklah! Lakukan apa yang kalian inginkan!"

Selama menyusun autobiography bersama Bung Karno di Indonesia, merupakan momen yang paling mngesankan dalam sejarah hidup Cindy Adams. Walau terjadi pasang surut hubungan di antara keduanya, dimana terjadi ketegangan pada saat membahas mengenai "romusha" yang membuat Cindy menangis dan putus asa, tetapi Cindy selalu mengenang dan menyebut nama Bung Karno dengan kehangatan dan rasa hormat.

Rasa hormat inilah yang akhirnya mendekatkan Cindy dengan Keluarga Bung Karno, terutama dengan Dewi dan putrinya. Saat diwawancarai pada tahun 2014, Cindy kembali terkenang pada sosok bayi mungil nan cantik yang tertidur lelap di tempat tidurnya, di sebuah apartemen di New York, Amerika.

Waktu itu tahun 1967, umurnya baru beberapa bulan. Saya memandanginya saat dia terlelap di tempat tidur saya. Saya sungguh sangat menyayanginya," ujar Cindy sambil memandang Karina yang duduk di sebelahnya dan mengusap tangannya dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Saya sangat menyayangi anak-anak Bapak," sambungnya.

Menurut Cindy, jasa Bung Karno teramat besar bagi Bangsa Indonesia. "Dia arsitek yang mampu menyatukan 17 ribu pulau, 720 dialek bahasa, luasnya seperti dari Belanda hingga Turki. Dia seperti Abraham Lincoln bagi kami." Tetapi JFK menyebut Bung Karno seperti George Washington.

Jika di Belanda, ada Wim, yang siap pasang badan meluruskan setiap pemberitaan miring tentang Bung Karno, maka di Amerika, ada Cindy, dimana jika ada berita hoaks tentang Bung Karno, Cindy akan menyanggahnya dengan berkata, "itu bukan Bung Karno seperti yang saya kenal."



Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUSTI NOEROEL

TAUFAN SOEKARNOPUTRA

GUNTUR SOEKARNOPUTRA