KAMP INTERNIRAN
KAMP INTERNIRAN
Kamp Konsentrasi Jepang
Kamp konsentrasi Jepang adalah nama yang digunakan Belanda untuk menyebut kamp interniran yang didirikan oleh Militer Jepang untuk menahan dan mengawasi pergerakan penduduk sipil atau tawanan militer dari Belanda dan Eropa selama pendudukan Jepang di Indonesia antara tahun 1942 sampai dengan tahun 1945.
Terdapat kamp tawanan perang untuk militer dan kamp tawanan untuk warga sipil. Lebih lanjut, kamp tawanan sipil dibagi atas kamp untuk pria, wanita, anak-anak, dan remaja. Beberapa Wanita Belanda dan Eropa juga dipaksa tentara Jepang untuk melayani nafsu bejat mereka. Wanita-wanita Belanda dan Eropa yang menjadi korban nafsu Tentara Jepang ini disebut sebagai "troostmeisje".
Para tawanan umumnya diperlakukan dengan buruk. Makanan hanya sedikit tersedia, padahal para prianya harus bekerja keras. Pelanggaran aturan dapat dikenakan hukuman atau siksaan berat. Di samping itu, terdapat kamp khusus buruh untuk pribumi Indonesia yang bekerja sebagai romusha dan juga kamp khusus untuk anak-anak Indo-Eropa.
Banyak pria Belanda, Eropa dan pribumi dipaksa melakukan wajib militer, dan menjadi romusha atau pekerja paksa, mereka dipaksa untuk membangun jalur kereta api dan lapangan terbang maupun bekerja di sejumlah pertambangan dan industri lainnya oleh Jepang.
Kedatangan Jepang pada tahun 1942 dan kekalahan Belanda menyisakan orang-orang Belanda dan keturunannya yang masih tinggal di Indonesia.
Pasukan Jepang kemudian membuat kamp-kamp tawanan untuk orang-orang Belanda dan Eropa yang masih tersisa di seluruh pelosok Indonesia. Rakyat Indonesia yang biasanya harus hormat kepada orang-orang kulit putih harus melihat secara langsung bagaimana mereka dibawa dan dimasukan kedalam kamp-kamp tanpa adanya perlakuan khusus apapun.
Kamp interniran atau "interneringskamp" ini dibedakan antara kamp pria dan wanita serta anak-anak. Beberapa kamp interniran di Jakarta kala itu diantaranya adalah Kamp Tjideng, sisa-sisa beberapa barak kamp tersebut masih bisa dijumpai hingga sekarang, diantaranya di Kampung Makassar, Kramat Raden Saleh, Penjara Salemba, Penjara Bukit Duri, Penjara Glodok, Petekoan dan Jatinegara.
Tempat penampungan kuli-kuli kontrak di Sluiweg atau Matraman berisi tak kurang dari tiga ribu tawanan Pria Belanda dan Eropa dari berbagai wilayah di Batavia.
Jumlah tawanan dari hari ke hari semakin membengkak karena pada bulan September 1944 dimasukkan pula para wanita dan anak-anak ke dalam kamp. Pada bulan September 1945, setelah Jepang tekuk lutut, tentara sekutu menemukan sekitar 1.900 tawanan Belanda dalam keadaan yang sangat menyedihkan.
Mereka yang masuk kamp umumnya orang-orang Belanda asli, sedang bagi mereka yang berdarah campuran (Indo) tidak dimasukan ke dalam kamp dan mereka boleh tinggal di luar tetapi jika secara fisik mereka mirip dengan Bangsa Eropa, mereka juga tetap harus ditahan. Polisi Jepang akan memeriksa akte kelahiran orang-orang Belanda, dan para Indo Eropa.
Di Bukitduri yang kini menjadi kompleks pertokoan di Jatinegara, juga dijadikan tempat tawanan pria Belanda dan Eropa. Di Jalan Jagamonyet atau Jalan Suryopranoto, bekas markas KNIL pun sempat dijadikan tempat tawanan perang KNIL asal Maluku.
Sedangkan, di penjara Glodok yang kini menjadi pertokoan Harco adalah kamp tawanan pertama untuk orang Eropa. Tawanan perang yang dipenjara di kamp ini berjumlah 1.500 orang yang kebanyakan serdadu Inggris dan Australia.
Rumah Sakit Jiwa di Grogol, Jakarta Barat, menjadi kamp tawanan 1.400 orang Belanda. Sementara di kamp pengungsi Koja, Tanjung Priok, mendekam 800 tahanan Inggris yang didatangkan dari Bandung. Demikian pula di Kampung Makassar dan puluhan tempat lainnya yang tersebar di Jakarta.
Orang-orang Belanda dan Eropa lain yang biasanya hidup senang dilayani pribumi itu kemudian ditemukan dalam kondisi yang memprihatinkan di kamp-kamp tawanan, sebelum akhirnya di pulangkan ke negara asal, meski ada juga yang akhirnya memutuskan untuk menetap di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar