PANGGUNG SANGGA BUWANA
PANGGUNG SANGGA BUWANA
Secara mistik kejawen Panggung Sangga Buwana dipercaya sebagai tempat pertemuan raja-raja Surakarta dengan Kangjeng Ratu Kidul, oleh karena itu letak Panggung Sangga Buwana segaris lurus dengan jalan keluar Kota Solo yang menuju ke Wonogiri. Menurut kepercayaan hal itu memang disengaja sebab datangnya Kangjeng Ratu Kidul adalah dari arah Selatan.
Pada puncak bangunan Panggung Sangga Buwana yang berbentuk seperti topi bulat terdapat sebuah hiasan seekor naga yang dikendarai oleh manusia sambil memanah. Menurut "Babad Surakarta", hiasan tersebut adalah "Sengkalan Milir", yang berbunyi "Naga Muluk Tinitihan Janma", yang berarti tahun 1708 Jawa atau 1782 Masehi, yang merupakan tahun berdirinya Panggung Sangga Buwana. Naga= 8, Muluk= 0, Tinitihan= 7 dan Janma= 1.
Sengkalan milir tersebut dapat diterjemahkan sebagai filosofi dari bentuk bangunan Panggung Sangga Buwana, 8 adalah simbol dari bentuk bangunannya yang segi delapan, 0 adalah simbol dari tutup atau bentuk atap bangunannya yang berbentuk topi, 7 adalah simbol manusia yang memanah sambil mengendarai naga dan 1 adalah simbol bangunannya yang tinggi dan kokoh seperti tiang.
Nama Panggung Sangga Buwana sendiri sebenarnya juga merupakan "Sengkalan Milir", yang merupakan kependekan dari "Panggung Luhur Sinangga Buwana". Dari nama tersebut lahir dua sengkalan sekaligus yang bila diterjemahkan akan menjadi dua jenis tahun, yaitu "Tahun Jawa" dan "Tahun Hijriyah". Panggung Sangga Buwana terdiri atas tiga suku kata. Suku kata pertama adalah Panggung merupakan gabungan dari dua kata, yaitu PA dan AGUNG. PA adalah huruf Jawa dan AGUNG adalah besar, jadi huruf jawa PA besar adalah angka delapan. Sedangkan suku kata ke dua adalah Sangga yang merupakan gabungan dari kata SANG dan GA. SANG berarti sembilan dan GA adalah huruf jawa atau angka jawa yang nilainya satu. Suku kata yang ke tiga atau terakhir adalah Buwana yang berarti dunia, atau bermakna angka satu. Jadi nama Panggung Sangga Buwana sebenarnya adalah angka tahun hijriyah yaitu tahun 1198 Hijriyah, yang merupakan tahun berdirinya Panggung Sangga Buwana.
Untuk sengkalan tahun jawa terdapat pada nama Panggung Luhur Sinangga Buwana. Panggung Luhur Sinangga Buwana terdiri atas empat suku kata, suku kata yang pertama adalah Panggung yang terdiri dari kata PA dan AGUNG yang berarti huruf besar jawa PA atau angka jawa delapan, suku kata yang ke dua adalah Luhur yang bermakna tanpa batas atau nol, suku kata yang ke tiga adalah Sinangga yang berarti angka tujuh dan suku kata yang terakhir adalan Buwana yang berarti angka satu. Jadi keempat suku kata tersebut jika digabungkan akan membentuk sebuah angka tahun jawa, yaitu tahun 1708 Jawa. Baik tahun jawa dan hijriyah jika dikonversikan ke tahun masehi, keduanya akan sama-sama menunjukkan angka 1782, yang merupakan tahun pendirian Panggung Sangga Buwana.
Pada Panggung Sangga Buwana sebenarnya masih terdapat sengkalan milir yang pada jaman penjajahan dirahasiakan keberadaannya. Sengkalan ini adalah sebuah ramalan yang merupakan angka tahun kemerdekaan Indonesia. Sengkalan yang dimaksud adalah yang terletak pada puncak atas Panggung Sangga Buwana, yaitu "Naga Muluk Tinitihan Janma". Bentuk dari sengkalan ini berupa manusia yang sedang menaiki seekor ular naga dan hendak melepaskan anak panah dari busurnya. Naganya digambarkan memakai mahkota. Hal ini merupakan sabda terselubung dari Sri Susuhunan Paku Buwana III yang kemudian ketika disuruh mengartikan kepada seorang pujangga Kraton Surakarta, yang bernama Kyai Yosodipuro ternyata memiliki kesamaan makna yang berupa tahun kemerdekaan Bangsa Indonesia, yaitu tahun 1945 Masehi.
Komentar
Posting Komentar